Penanganan aktivitas penangkapan ikan ilegal ( illegal fishing ) merupakan salah satu isu krusial dalam menjaga kedaulatan maritim dan keingintahuan sumber daya laut Indonesia. Belakangan ini, kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di bawah kepemimpinan Sakti Wahyu Trenggono menjadi sorotan tajam.
Kritik signifikan datang dari Ketua Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Titiek Soeharto . Dalam sebuah rapat kerja yang menarik perhatian publik, Titiek secara lugas efektivitas dan ketegasan KKP saat ini, membandingkannya dengan era Menteri KKP sebelumnya, Susi Pudjiastuti, yang dikenal dengan kebijakan “tenggelamkan kapal”.
Perbandingan Kebijakan Era Susi vs. Trenggono
Puncak dari “skakmat” Titiek Soeharto terjadi ketika ia menanyakan tindak lanjut dari ratusan kapal ilegal yang telah ditangkap oleh pihak KKP. Titiek menyoroti perbedaan mendasar dalam pendekatan penindakan.
Di era Susi Pudjiastuti (2014-2019), kebijakan yang diterapkan sangatlah tegas dan memberikan efek jera yang masif: kapal asing ilegal yang tertangkap langsung ditenggelamkan setelah melalui proses hukum yang singkat. Kebijakan ini dinilai berhasil menekan angka penangkapan ikan ilegal secara drastis dan mendapat apresiasi luas dari masyarakat serta dunia internasional.
Namun, di bawah kepemimpinan Menteri Trenggono, kebijakan penenggelaman kapal tidak lagi menjadi prioritas utama. KKP saat ini lebih fokus pada proses hukum konvensional, yang dalam pandangan Titiek, cenderung lamban dan kurang memberikan efek jera. Dalam rapat kerja yang digelar baru-baru ini (awal November 2025), Titiek menilai nasib 1.149 kapal ilegal yang dilaporkan telah ditangkap.
“Dulu zaman Bu Susi, ada kapal ilegal langsung ditenggelamkan. Sekarang diapain, Pak?” tanya Titiek secara retoris kepada Menteri Trenggono.
Poin-poin Kritis Titiek Soeharto
Kritik Titiek Soeharto mencakup beberapa aspek penting:
- Ketegasan Tindakan: Titiek menekankan bahwa penenggelaman kapal bukan sekadar tindakan destruktif, melainkan simbol ketegasan negara dalam menjaga wilayah perairan. Ketiadaan tindakan serupa saat ini menimbulkan pertanyaan mengenai keseriusan pemerintah dalam menangani pencurian ikan.
- Efek Jera: Titiek berpendapat bahwa proses hukum yang berlarut-larut tidak menciptakan efek jera yang sepadan bagi pelaku, terutama bagi “pemain besar” atau sindikat internasional yang memiliki modal besar.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Pertanyaan Titiek mengenai nasib ribuan kapal yang ditangkap juga mencakup transparansi KKP dalam mengelola barang bukti dan proses hukumnya
Menteri Tanggapan KKP dan Analisis Dampak
Menteri Trenggono, dalam berbagai kesempatan, menjelaskan bahwa pendekatan saat ini lebih menitikberatkan pada penegakan hukum berdasarkan bukti dan pemanfaatan kapal sitaan untuk kepentingan negara lainnya, seperti hibah kepada nelayan lokal atau lembaga penelitian. Ia juga menyebut bahwa pelaku illegal fishing saat ini banyak didalangi oleh “pemain besar”, yang mengindikasikan kompleksitas penanganannya.
Namun, bagi Titiek Soeharto, alasan tersebut belum cukup kuat untuk menjustifikasi menurunnya ketegasan penindakan. Interaksi dalam rapat kerja tersebut menempatkan KKP dalam posisi ditekan, seolah-olah kebijakan saat ini dinilai kurang efektif dibandingkan sebelumnya.
Kesimpulan
Kritik Titiek Soeharto terhadap Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono menjadi pengingat penting akan tantangan besar dalam menjaga kedaulatan maritim Indonesia. Bandingkan dengan era Susi Pudjiastuti yang menyoroti dilema antara penegakan hukum yang tegas dan pendekatan yang lebih terstruktur. Momen “skakmat” ini mendorong KKP untuk mengalirkan kembali strategi mereka agar dapat memberikan efek jera yang optimal dan memastikan sumber daya laut Indonesia tidak terus menerus dicuri oleh pihak asing.