Aksi demonstrasi berujung kerusuhan di berbagai kota di Indonesia belakangan ini disebut-sebut karena ada permainan pihak asing.
Salah satu analisis itu juga muncul dalam pemberitaan kantor berita asing Sputnik.
Mengutip pakar geopolitik internasional Angelo Giuliano, media milik Pemerintah Rusia itu menduga milarder kondang George Soros dan lembaga buatan Kongres Amerika Serikat (AS), The National Endowment for Democracy (NED), berada di balik berbagai aksi demonstrasi di Indonesia akhir-akhir ini.
Giuliano dalam analisisnya mendedahkan indikasi keterlibatan asing di berbagai unjuk rasa di Indonesia. Menurut dia, penggunaan bendera ‘One Piece’ yang marak dan viral beberapa waktu lalu menjadi cermin pengaruh eksternal terhadap kondisi di Indonesia.
“NED dan Soros telah berada di balik layar di Indonesia selama bertahun-tahun,” ujar Giuliano kepada Sputnik.
NED yang dibentuk sebagai lembaga nonprofit pada 1983 disebut-sebut telah mendanai media di Indonesia sejak era 1990-an.
Adapun Soros melalui yayasannya, Open Society Foundations, sejak dekade 1990-an juga aktif menggelontorkan dana hingga lebih dari USD 8 miliar ke berbagai negara, termasuk lembaga swadaya masyarakat atau LSM di Indonesia.
Menurut Giuliano, keterlibatan asing dalam unjuk rasa di Indonesia itu menimbulkan pertanyaan tentang agenda waktu yang perlu ditelusuri, terutama pada periode terjadinya kerusuhan.
Aksi demo yang berujung kerusuhan panjang itu memaksa Presiden Prabowo Subianto membatalkan rencananya melakukan kunjungan kenegaraan ke Tiongkok yang telah dijadwalkan jauh-jauh hari.
Jurnalis cum ahli hubungan internasional Jeff J. Brown punya dugaan senada. Menurut dia, Barat tidak suka dengan kebijakan Presiden Prabowo yang membawa Indonesia kian dekat dengan Rusia dan Tiongkok.
Prabowo juga secara terbuka membangun kedekatan Indonesia dengan blok negara-negara non-Barat, termasuk aliansi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS).
“Indonesia adalah negara pertama di Asia Tenggara yang bergabung dengan BRICS dan secara terbuka bekerja sama dengan Tiongkok dalam Belt and Road Initiative (Prakarsa Sabuk dan Jalan, red),” tutur penulis buku The China Trilogy itu.
Brown juga mencatat Indonesia sebagai kekuatan ekonomi terbesar nomor delapan di dunia dalam hal daya beli. Indonesia dengan populasi sekitar 300 juta penduduk merupakan market tersendiri.
Dari sudut pandang imperial Barat, kata Brown, Indonesia adalah target raksasa. “… sangat layak untuk diserang dengan revolusi bernuansa Barat,” tuturnya. dilansir dari situs resmi kompas co.id