Keluarga korban runtuhnya musala Pondok Pesantren Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, mendesak agar proses hukum tetap berjalan. Mereka menilai adanya korban jiwa dalam jumlah besar harus disertai pertanggungjawaban hukum.
Desakan itu disampaikan Fauzi, salah satu keluarga korban yang kehilangan empat keponakan dan memiliki anak Toharul Maulidi (16), santri kelas 3 SMP yang selamat dari peristiwa tersebut. Ia menegaskan proses hukum tidak boleh terhenti meski identifikasi korban masih berlangsung.
“Polda Jatim harus melakukan penyidikan, meski sekarang masih banyak korban yang dalam proses identifikasi,” ujarnya di RS Bhayangkara Surabaya, Selasa (7/10/2025). Fauzi menilai proses identifikasi tidak menghalangi penyelidikan terhadap pihak yang bertanggung jawab.
Ia mempertanyakan aktivitas pembangunan sebelum insiden terjadi. Menurutnya, pengecoran di lantai atas seharusnya tidak dilakukan ketika para santri tengah melaksanakan salat di bawah.
“Pada saat itu ada aktivitas ngecor di atas, dan di bawah ada yang salat. Itu SOP-nya dari mana,” ungkapnya. Ia menilai jika terbukti ada kelalaian, maka harus diproses tanpa memandang status sosial pelaku.
Fauzi menambahkan, hingga kini pihak keluarga belum menempuh langkah hukum langsung. Namun, ia berharap aparat penegak hukum segera menelusuri kasus tanpa menunggu seluruh identifikasi selesai.
“Kita harus bicarakan dengan keluarga, tapi aparat hukum harus reaktif,” ungkapnya. Ia meminta penyidik memeriksa semua pihak yang terlibat dalam pembangunan musala tersebut.
Fauzi juga menyayangkan kurangnya komunikasi dari pihak Ponpes Al Khoziny. Hingga kini, keluarga korban mencari informasi sendiri tanpa penjelasan resmi dari pihak pesantren.
Ia menegaskan keluarga tidak ingin berspekulasi terkait penyebab ambruknya bangunan. “Kalau saya bicara, ya harus berdasarkan fakta. Jangan sampai ada bias,” ucapnya.dilansir dari situs resmi rri co.id