Breaking News

Breaking News

Beranda » Pro Kontra Kepemimpinan Menkeu Purbaya, Terlalu Campuri Urusan K/L Lainnya
0 comment

Pro Kontra Kepemimpinan Menkeu Purbaya, Terlalu Campuri Urusan K/L Lainnya

Langkah kepemimpinan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa terus menjadi perhatian. Misalnya, arah kebijakan fiskal yang melebar terlalu jauh ke ranah kementerian atau lembaga lain.

Misalnya saja, terkait pernyataan Purbaya yang berencana melakukan pemotongan anggaran untuk proyek makan bergizi gratis (MBG) yang tidak terserap. Selain itu, ia juga mengungkapkan, akan mengalihkan anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) yang lambat menyerap anggarannya.

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M. Rizal Taufikurahman menilai, kecenderungan dominan Purbaya dalam mengarahkan kebijakan lintas K/L mencerminkan melemahnya fungsi koordinasi antar lembaga ekonomi.

Ia menyebut, Purbaya kini tampil seperti chief economic executor alias kepala pelaksana ekonomi, bukan lagi chief fiscal guardian alias kepala penjaga fiskal. Peran yang terlalu sentralistik itu, katanya, berpotensi menimbulkan fragmantasi kebijakan dan konflik otoritas dengan kementerian teknis seperti Kementerian Koperasi, Kemnterian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga Kementerian Kelautan dan Perikanan.

“Padahal, desain kebijakan lintas sektor idealnya dijalankan melalui mekanisme kolektif, yang mana Kemenkeu berperan sebagai pengendali fiskal, bukan operator sektor,” tutur Rizal kepada Kontan, Minggu (26/10/2025).

Rizal juga menilai, perluasan peran Kemenkeu ini juga membawa risiko politik tersendiri. Ketika kebijakan fiskal terlalu melekat pada kepentingan jangka pendek, fungsi APBN sebagai instrumen stabilitas makroekonomi bisa tergerus.

Maka dari itu, menurutnya, tanpa tata kelola dan transparansi yang kuat, ekspansi fiskal justru bisa memperlebar volatilitas, mengurangi kepercayaan pasar, dan menurunkan kredibilitas fiskal Indonesia di mata lembaga pemeringkat internasional.

Risiko Tata Kelola Fiskal yang Melemah

Langkah-langkah kebijakan yang ditempuh Menkeu Purbaya akhir-akhir ini dinilai progresif dan berani. Namun kebijakan dan dorongan percepatan ekonomi yang ia lakukan, muncul kekhawatiran baru terjadinya risiko tata kelola fiskal yang melemah.

Baca Lainnya :  DPR Soroti Dana APBN IKN 76 Triliun tapi IKN Hanya Monumen

Rizal menilai, arah kebijakan fiskal Purbaya memang menunjukkan niat kuat untuk mendorong belanja negara dan mempercepat perputaran likuiditas di sektor riil, sehingga pertumbuhan ekonomi diharapkan segera terdorong.

“Namun, pendekatan yang terlalu eksperimental bisa mengganggu prinsip kehati-hatian fiskal yang selama ini menjadi fondasi APBN,” ujarnya.

Misalnya saja kebijakan baru yang ia keluarkan, terkait pembayaran kompensasi energi akan dibayar 70% setiap bulannya. Langkah ini, menurut Rizal, dapat menimbulkan tekanan pada kas negara dan mengurangi fleksibilitas fiskal di tengah ketidakpastian harga minyak global.

Menurutnya, jika harga minyak melonjak, ruang penyesuaian fiskal bisa menyempit karena sebagian besar alokasi sudah terserap di muka.

Begitupun dengan pemindahan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp 200 triliun dari rekening Bank Indonesia ke Himbara. Tujuan kebijakan ini adalah meningkatkan likuiditas perbankan nasional dan mempercepat penyaluran kredit ke sektor produktif.

Namun Rizal menilai, langkah tersebut menggeser orientasi SAL dari fungsi buffer fiskal menjadi instrumen likuiditas yang berisiko tinggi, terutama apabila tidak diikuti tata Kelola dan pengawasan yang kuat.

Selanjutnya, kebijakan paling berisiko justru terkait dana desa yang dijadikan jaminan Koperasi Merah Putih. Menurutnya, skema ini memang tampak inovatif dari sisi inklusi keuangan pedesaan, namun dari perspektif fiskal, langkah ini membuka ruang masalah kredit baru bahkan moral hazard.

“Dana publik dijadikan jaminan kredit tanpa jaminan tata kelola yang memadai bisa berujung pada beban fiskal baru jika terjadi gagal bayar,” kata Rizal.

Lebih lanjut, Rizal membeberkan, arah reformasi fiskal di bawah Menkeu seharusnya menegakkan kembali disiplin fiskal berbasis tata kelola dan mitigasi risiko, bukan bergeser ke arah fiskal eksperimental yang sarat intervensi politis.

Baca Lainnya :  MK Mantap! Kini Jaksa Bandel Bisa Langsung Diproses KPK-Polisi Tanpa Izin Atasan

Selain itu, pembayaran kompensasi energi sebanyak 70% setiap bulannya, penempatan SAL di Himbara, hingga jaminan Dana Desa untuk Koperasi Desa Merah Putih menunjukkan gejala pergeseran dari prinsip prudential fiscal management ke arah likuiditas politik managemen. Padahal, fondasi keberhasilan reformasi fiskal Indonesia dua dekade terakhir justru dibangun atas kredibilitas, konsistensi, dan transparansi pengelolaan kas negara.

“Dengan menggeser dana publik ke skema-skema quasi fiskal tanpa risk disclosure yang memadai, pemerintah membuka ruang baru bagi shadow liabilities yang sulit dimonitor,” tambahnya.

Idealnya, lanjut Rizal, setiap kebijakan pembiayaan baru harus disertai pernyataan risiko fiskal, analisis keberlanjutan (debt sustainability analysis), serta audit independen untuk menjaga governance trust.

“Tanpa itu, ekspansi fiskal hanya akan menambah volatilitas dan menurunkan kredibilitas APBN di mata investor dan lembaga pemeringkat,” tandasnya. dilansir dari situs resmi kontan co.id

Leave a Comment

javanica post

Javanica Post adalah portal berita online yang dikelola oleh PT. Javanica Media Digital, salah satu anak perusahaan dari Javanica Group.

Edtior's Picks

Latest Articles

©2024 javanica post. All Right Reserved. Designed and Developed by PEH Digital Agency