Kejaksaan Agung menetapkan Muhammad Syafei, Head of Social Security Legal Wilmar Group, sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terhadap majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Penetapan tersebut dilakukan pada 14 April 2025.
Syafei diduga menjadi salah satu dari delapan orang yang terlibat dalam skenario suap untuk mempengaruhi putusan perkara korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO) dengan terdakwa tiga korporasi besar. Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Dalam perkara ini, jaksa menyebut Muhammad Syafei berperan menyiapkan uang suap sebesar Rp60 miliar agar majelis hakim menjatuhkan putusan ontslag van alle rechtsvervolging, yakni menyatakan perbuatan terdakwa terbukti, tetapi bukan merupakan tindak pidana.
Putusan tersebut membuat ketiga perusahaan terbebas dari kewajiban membayar uang pengganti kerugian negara yang nilainya diperkirakan mencapai Rp17 triliun.
Selain Syafei, dua pengacara korporasi, Ariyanto dan Marcella Santoso, juga ditetapkan sebagai tersangka. Mereka diduga memberikan suap kepada tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom, serta kepada mantan Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta. Mantan panitera Wahyu Gunawan juga ikut ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara ini.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, menjelaskan bahwa Wahyu Gunawan merupakan pihak yang pertama kali menawarkan pengurusan perkara kepada Ariyanto. Dalam tawarannya, Wahyu menyebut bahwa jika perkara tidak diurus, hakim bisa menjatuhkan vonis maksimal atau bahkan lebih berat dari tuntutan jaksa.
Kejaksaan hingga kini masih menelusuri asal-usul dana suap Rp60 miliar tersebut, apakah seluruhnya berasal dari Wilmar Group, atau merupakan hasil patungan dengan Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.
Kasus ini memicu reaksi keras dari publik, terutama di media sosial. Salah satu kritik tajam datang dari akun X @negativisme yang menyuarakan keresahan masyarakat atas dampak industri sawit dan dugaan penghindaran kewajiban pajak oleh korporasi besar.
“Wilmar: bikin duit dari sawit kita, rusak hutan kita, tapi bayar pajak ke Singapura. Rakyat cuma dapat asap & banjir, sementara miliaran rupiah lari ke luar negeri. Tambah lagi, terseret skandal suap. Ini bukan bisnis tapi penjajahan gaya baru!” tulis akun tersebut, dikutip X @negativisme Jumat (25/4/2025).
Pernyataan itu menyuarakan kekecewaan atas praktik bisnis korporasi yang dinilai mengeruk keuntungan dari sumber daya alam Indonesia, namun minim kontribusi bagi negara, baik dari sisi penerimaan pajak maupun tanggung jawab lingkungan.
Kritik ini semakin tajam setelah muncul dugaan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut tidak hanya merugikan negara secara ekonomi dan ekologis, tetapi juga mencoba menghindari proses hukum dengan menyuap aparat peradilan.
Aktivis Nicho Silalahi juga angkat suara dan menambahkan kritiknya lewat akun X pribadinya @Nicho_Silalahi.
“Brengseknya taipan sawit malah merampok uang negara atas nama subsidi”, katanya. dilansir dari situs resmi fajar co.id.