Breaking News

Breaking News

Beranda » Mengenal Tradisi Thu Dong, Para Bhante Berjalan Kaki Ribuan Kilo Mendalami Makna Waisak
0 comment

Mengenal Tradisi Thu Dong, Para Bhante Berjalan Kaki Ribuan Kilo Mendalami Makna Waisak

Mengenal tradisi thudong, tradisi khusus saat perayaan Waisak. Tradisi ini dilakukan dengan jalan kaki ribuan kilometer oleh para Bhante dari beberapa negara ke Indonesia dan bukan sekadar ritual keagamaan, tapi juga latihan batin dan pengendalian diri.

Thudong merupakan tradisi jalan kaki yang dilakukan oleh para Bhante yang memiliki tujuan awal menuju lokasi perayaan puncak Waisak. Dikutip Grid.ID dari Kompas.com, tradisi ini biasanya dimulai oleh para Bhante dari Kota Semarang menuju kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Menurut Wakil Ketua Panitia Nasional Waisak pada tahun 2024 yaitu YM Bhante Dhammavuddho, thudong bukan hanya sekedar tradisi jalan kaki. Thudong juga menjadi usaha memaknai setiap langkah yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan.

“Jadi (thudong) itu untuk makna pelepasan dan juga berlatih kesabaran,” kata Bhante Dhammadiro di gedung Sasono Utomo, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Selatan, Selasa (14/5/2024).

Menurut Bhante, seseorang dalam menjalani hidup tentu harus belajar melepaskan. Misalnya saat kematian, seseorang tentu saja akan melepaskan semua yang pernah ia miliki. Oleh karena itu, saat thudong, para Bhante yang awalnya membawa tas seberat 20 sampai 30 kilogram untuk perbekalan, lambat laun akan melepaskan satu persatu barang bawaannya tersebut.

“Misalnya mereka membawa tas (seberat 20-30 kilogram berisi tenda, jubah, dan perlengkapan. pada akhirnya mungkin tendanya tidak perlu, itu akan dilepaskan, akhirnya mereka hanya pakai sandal dan jubah saja,” jelasnya.

Bhante Dhammavuddho mengatakan hal ini sejalan dengan makna kehidupan dan cara memaknai kebahagiaan dalam kepercayaan agama Buddha. Kebahagiaan yang didapatkan dalam hidup berasal dari hati sendiri bukan dari luar diri.

“Bisa dilihat ketika pada Bhante meditasi, terkadang mereka tidak tahu apa yang kita bicarakan, mereka sedang melihat ke dalam diri sendiri,” ucapnya.

Begitu juga saat melakukan tradisi thudong. ketika para Bhante berjalan kaki, mereka akan memaknai apa yang mereka rasakan di dalam diri sehingga tidak akan mempengaruhi kualitas batin.

“Jadi ketika jalan kaki, rasa dingin, panas, dan lelah yang dirasakan oleh Bhante, tidak akan mempengaruhi kualitas batin mereka,” jelasnya.

Saat pelaksanaan thudong, beberapa Bhante ada yang tidak memakai alas kakdi dan ada juga yang memakainya. Hal ini karena tidak ada ketentuan tentang alas kaki yang dipakai saat thudong dan keputusan memakai alas kaki atau tidak dikembalikan kepada para Bhante yang akan melaksanakan thudong.

Mengenal tradisi thudong lainnya, seperti Grid.ID kutip dari akun TikTok @gejapramono, Thudong dilakukan oleh bhante-bhante dari Thailand, Malaysia dan Singapura. Mereka berjalan kaki ke Magelang, Jawa Tengah.

Tujuan utama dari thudong ini untuk merayakan waisak di Borobudur. Thudong merupakan sarana untuk belajar sabar. Dalam sejarahnya, praktik ini sudah ada sejak abad ke-6 hingga ke-4 sebelum masehi di India.

Para Bhante berjalan kaki tanpa membawa harta benda dan hanya mengandalkan kemurahan hati masyarakat sekitar. Mereka biasanya hanya membawa perbekalan secukupnya, obat-obatan dan dua jubah.

Saat sampai di Klenteng Magelang, Bhante-Bhante ini akan mendapatkan sambutan meriah dari barongsai serta anak-anak sekolah. Prosesi dilanjutkan dengan mencuci kaki para Bhante dan ditaburi bunga.

Para Bhante kemudian menginap di Klenteng Magelang untuk satu malam dan kemudian keesokan harinya akan dilakukan tradisi berbagai umat Buddha yaitu pindapatta. Dalam prosesi ini, umat diberikan kesempatan untuk menanam karma baik dengan berdana kepada para Bhante dan juga memberi makanan, obat-obatan hingga uang.

“Dana” sendiri merupakan istilah agama Buddha yang artinya pemberian atau kedermawanan. Jadi sedikit berbeda dengan dana dalam bahasa Indonesia.

Dalam pindapatta ini, umat akan berdiri atau berlutut di sepanjang jalan yang dilewati para Bhante untuk memberi dana atau bersedekah. Rute pindapatta di Kota Magelang yaitu hanya sepanjang Jalan Pemuda.

Dalam bahasa Pali, “Pinda” berarti makanan dan “Patta” berarti mangkuk makanan. Inilah sebabnya saat pindapatta para Bhante membawa mangkuk kecil. Namun dalam prakteknya, dikarenakan mangkuk pindapatta tidak cukup untuk menampung seluruh makanan, jadi ada yang membantu para Bathe untuk memasukkan dana para umat lalu dimasukkan ke kantong beras. dilansir dari situs resmi grid co.id.

Leave a Comment

javanica post

Javanica Post adalah portal berita online yang dikelola oleh PT. Javanica Media Digital, salah satu anak perusahaan dari Javanica Group.

Edtior's Picks

Latest Articles

©2024 javanica post. All Right Reserved. Designed and Developed by Rizarch