KPK Ungkap Modus “Jatah Preman” di Balik OTT Gubernur Riau
Provinsi Riau telah beberapa kali mencatat kasus korupsi yang melibatkan pucuk pimpinan daerahnya. Salah satu yang paling menonjol adalah kasus Annas Maamun, Gubernur Riau periode 2014-2019. Annas Maamun terjerat dua kasus korupsi yang berbeda, menunjukkan adanya praktik yang diizinkan secara sistematis. Kasus ini menjadi perhatian publik karena melibatkan isu lingkungan (alih fungsi lahan hutan) dan tata kelola pemerintahan daerah yang buruk.
- Kronologi Kasus
Annas Maamun ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada 25 September 2014, tidak lama setelah ia dilantik sebagai gubernur. Penangkapan ini terkait dengan dua kasus utama:
- Kasus Pengalihan Fungsi Lahan Kehutanan
Ini adalah kasus pertama yang menjerat Annas Maamun. Ia terbukti menerima suap dari pengusaha kelapa sawit Gulat Medali Emas Manurung dan kawan-kawan. Suap tersebut diberikan dengan tujuan agar Annas Maamun memasukkan usulan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di Provinsi Riau untuk mengubah status kawasan hutan menjadi kawasan perkebunan sawit.
Dalam OTT tersebut, KPK menyita uang senilai 166.100 Dolar AS dan Rp500 juta sebagai barang bukti suap. Proses ini membuka mata publik tentang bagaimana strategi kebijakan terkait lingkungan dapat diperjualbelikan demi kepentingan swasta.
- Kasus Suap RAPBDP
Setelah menjalani masa tahanan untuk kasus pertama, Annas Maamun kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Maret 2022 atas kasus yang berbeda, yaitu dugaan suap terkait pembahasan RAPBDP Provinsi Riau tahun anggaran 2014-2015. Kasus ini merupakan pengembangan dari fakta-fakta yang terungkap dalam konferensi mantan Bupati Rokan Hulu Suparman. Dalam kasus kedua ini, tim penyidik KPK menyita uang sekitar Rp200 juta.
Annas Maamun sempat dijemput paksa oleh KPK karena dinilai tidak kooperatif dalam memenuhi panggilan penyidik untuk kasus kedua ini.
- Modus Operandi
Meskipun istilah “jatah preman” secara eksplisit tidak digunakan dalam putusan pengadilan, modus operandi yang digunakan Annas Maamun pada dasarnya adalah penerimaan suap dan gratifikasi sebagai “pelicin” atau “jatah” agar kebijakan pemerintah daerah dapat diakomodasi untuk kepentingan pihak swasta atau pihak lain.
Dalam kasus alih fungsi lahan, modusnya adalah memanipulasi tata ruang demi perkebunan sawit. Sementara dalam perkara RAPBDP, modusnya adalah “uang ketok palu” atau suap kepada eksekutif (gubernur) agar anggaran atau program tertentu disetujui dalam pembahasan APBD. Ini mencerminkan adanya praktik “bagi-bagi proyek” atau “upeti” yang lazim terjadi dalam birokrasi yang korup.
- Proses Hukum dan Putusan
Dalam kasus pertama (alih fungsi lahan), Pengadilan Tipikor Bandung pada Juni 2015 menjatuhkan vonis 6 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 2 bulan kurungan kepada Annas Maamun. Ia mengajukan banding, namun di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) justru memperberat hukumannya menjadi 7 tahun penjara pada tahun 2018.
Pada tahun 2019, Annas Maamun mengajukan grasi kepada Presiden Joko Widodo dengan alasan usia lanjut (78 tahun) dan kondisi kesehatan yang sakit-sakitan. Presiden mengabulkan grasi tersebut, mengurangi hukuman Annas Maamun menjadi 6 tahun penjara, sehingga ia bebas bersyarat pada September 2020.
Namun, setelah bebas, ia kembali dijerat dalam kasus kedua (suap RAPBDP) pada tahun 2022. Pada Juli 2022, Pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri Pekanbaru memvonisnya 1 tahun penjara dan denda Rp100 juta dalam kasus gratifikasi ini.
- Kesimpulan
Kasus korupsi Annas Maamun menunjukkan kerentanan tata kelola pemerintahan daerah terhadap praktik suap dan dokumen resmi. Modus yang digunakan adalah menjadikan kebijakan publik (tata ruang dan anggaran) sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan demi keuntungan pribadi dan kroni. Meskipun proses hukum telah berjalan dan Annas Maamun telah dinyatakan bersalah dalam dua kasus yang berbeda, kasus ini menyisakan catatan penting mengenai penegakan hukum, terutama dengan adanya faktor grasi. Penyusunan kasus korupsi yang menimpa beberapa Gubernur Riau, termasuk Annas Maamun, menegaskan perlunya reformasi birokrasi dan pengawasan yang lebih ketat untuk mencegah terulangnya praktik serupa di masa mendatang.