PRESIDEN Prabowo Subianto belum lama ini menunjuk Jenderal Polisi Kehormatan (Purn) Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden bidang Kamtibmas dan Reformasi Polri.
Penunjukan ini menjadi sinyal awal bahwa Presiden hendak mengambil alih kendali atas reformasi institusi kepolisian.
Sebuah langkah strategis sekaligus politis di tengah sorotan publik terhadap kinerja dan integritas Polri. Namun, di saat Presiden sedang menjalani lawatan kenegaraan ke luar negeri, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo secara mengejutkan membentuk Tim Reformasi Polri yang berasal dari unsur internal Polri sendiri.
Langkah ini tentu menimbulkan pertanyaan tajam: Apakah ini bentuk kelancangan terhadap otoritas Presiden? Kelincahan atau Kelancangan? Secara administratif, Kapolri memang memiliki kewenangan untuk mengelola tubuh Polri.
Namun, konteks dan momentum politik dari pembentukan tim reformasi internal ini menimbulkan kesan bahwa Kapolri sedang melakukan manuver strategis untuk mempertahankan otonomi institusional Polri — bahkan sebelum Presiden sempat menjalankan visi reformasinya secara penuh.
Lebih dari sekadar persoalan prosedural, langkah Kapolri ini dapat dibaca sebagai perlawanan halus terhadap intervensi eksekutif, yang dalam hal ini diwakili oleh pembentukan Komite Reformasi Polri oleh Presiden.
Dengan membentuk timnya sendiri terlebih dahulu, Kapolri mencoba untuk menetapkan kerangka reformasi berdasarkan parameter internal, bukan berdasarkan kehendak eksternal yang diinisiasi oleh presiden baru.
Dampak terhadap Komite Reformasi Polri Bentukan Presiden Langkah Kapolri ini berpotensi melemahkan legitimasi dan efektivitas Komite Reformasi Polri yang sedang disiapkan oleh Presiden.
Jika publik melihat bahwa Polri telah membentuk tim reformasi versi mereka sendiri, maka pembentukan Komite Presiden bisa dianggap tumpang tindih, bahkan reaktif.
Ini bukan hanya persoalan administratif, tetapi persoalan simbolik dan strategis: siapa yang lebih dahulu membentuk narasi reformasi, dia yang akan memegang kendali opini publik.
Situasi ini menciptakan ruang abu-abu dan bahkan potensi dualisme otoritas dalam proses reformasi. Presiden bisa kehilangan momentumnya, sementara Polri bisa mengklaim sebagai pihak yang “lebih siap”, “lebih proaktif”, atau “lebih mandiri”. Ketegangan Senyap Kekuasaan Dalam politik kekuasaan, simbol siapa yang lebih dahulu bertindak sering kali lebih penting daripada isi kebijakan itu sendiri.
Pembentukan Tim Reformasi Polri oleh Kapolri bisa dibaca sebagai bentuk “soft resistance” atau perlawanan senyap terhadap konsolidasi kekuasaan Presiden yang ingin mencengkeram institusi-institusi penegak hukum.
Tindakan ini juga menunjukkan bahwa hubungan antara Kapolri dan Presiden Prabowo, meskipun tampak harmonis di permukaan, mengandung ketegangan laten.
Prabowo adalah Presiden baru dengan gaya kepemimpinan yang dikenal tegas dan terpusat. Ia kemungkinan besar ingin memastikan bahwa semua instrumen negara — termasuk Polri — berada dalam garis komandonya.
Maka, manuver Kapolri ini bisa dibaca sebagai langkah defensif: mempertahankan ruang gerak, menjaga kontrol internal, dan menunda penetrasi politik dari luar.
Adanya peristiwa ini di saat Presiden sedang berada di luar negeri juga memiliki makna simbolik tersendiri. Dalam politik, waktu adalah pesan.
Bisa saja ini dibaca sebagai upaya untuk memanfaatkan kevakuman simbolik di dalam negeri guna menyampaikan pesan bahwa Polri adalah institusi yang bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, tanpa perlu “disetir” dari luar.
Penutup Reformasi Polri adalah isu strategis, bukan hanya bagi keamanan dalam negeri, tetapi juga untuk konsolidasi kekuasaan Presiden Prabowo. Jika reformasi dikuasai oleh internal Polri, maka perubahan akan cenderung bersifat kosmetik dan mempertahankan status quo.
Namun, jika dikendalikan langsung oleh Presiden melalui Komite Independen, maka akan muncul potensi restrukturisasi yang lebih fundamental — dan tentu saja, menyentuh kepentingan banyak pihak di dalam institusi.
Kini, bola panas berada di tangan Presiden. Apakah ia akan mengafirmasi langkah Kapolri atau justru mempercepat pembentukan Komite Reformasi Polri untuk menunjukkan bahwa arah reformasi tetap di tangan pemimpin tertinggi negeri ini? Satu hal yang pasti: dalam politik kekuasaan, siapa yang mengendalikan narasi — dialah yang mengendalikan arah. dilansir dari situs resmi sindo co.id