Rektor Universitas Paramadina, Didik Junaidi Rachbini mengkritik langkah Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa yang memindahkan dana pemerintah di Bank Indonesia (BI) sebesar Rp 200 triliun ke Himpunan Bank Negara (Himbara). Adapun dana Rp 200 triliun itu dibagi masing-masing Rp 55 triliun ke Bank Mandiri, BRI, dan BNI.
Kemudian, BTN mendapatkan Rp 25 triliun dan BSI Rp 10 triliun. Didik menilai, penempatan dana tersebut melanggar konstitusi dan beberapa undang-undang (UU) yang berlaku.
“Kebijakan spontan pengalihan anggaran negara Rp 200 triliun ke perbankan dan kemudian masuk ke kredit perusahaan, industri atau individu merupakan kebijakan yang melanggar prosedur yang diatur oleh Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang APBN, yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar,” ujar Didik dalam siaran pers kepada Republika di Jakarta, Senin (15/9/2025).
Ia menekankan, proses penyusunan, penetapan, dan alokasi APBN diatur oleh tiga hal. Pertama UUD 1945 Pasal 23, berikutnya Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan terakhir UU APBN setiap tahun. Aturan itu adalah prosedur resmi dan aturan main ketatanegaraan yang harus dijalankan.
“Karena anggaran negara masuk ke dalam ranah publik. Anggaran negara bukan anggaran privat atau anggaran perusahaan,” ujar Didik.
Ekonom senior Indef tersebut menyebut, proses kebijakan yang benar harus dijalankan berdasarkan aturan main. Pasalnya, jika tidak maka pada masa mendatang akan menjadi preseden anggaran publik dipakai seenaknya, semau gue, dan sekehendak pejabatnya secara individu.
“Alokasi anggaran negara tidak bisa dijalankan atas perintah menteri atau perintah Presiden sekalipun. Pejabat-pejabat negara tersebut harus taat aturan menjalankan kebijakan sesuai rencana kerja pemerintah (RKP), yang datang dari kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Tidak ada tiba-tiba program datang nyelonong di tengah-tengah semaunya,” jelas Didik.
Menurut Didik, program-program yang disusun teratur ada di dalam nota keuangan yang secara resmi diajukan oleh pemerintah kepada DPR. Karena anggaran negara ialah ranah publik, sambung dia, proses politik lewat legislasi dinilai mesti dijalankan bersama oleh DPR dengan pembahasan-pembahasan di setiap komisi dengan menteri-menteri dan badan anggaran.
“Setiap program yang menjalankan anggaran negara tidak melalui proses legislasi adalah pelanggaran terhadap konstitusi. Jika ada kebijakan dan program nyelonong dengan memanfaatkan anggaran, maka kebijakan tersebut hanya kehendak individu pejabat dan tidak ada proses legislasi, maka ini terindikasi melanggar konstitusi dan undang-undang negara,” ucap Didik.
Dia menekankan, setiap rupiah dari anggaran negara harus lewat pembahasan dengan DPR. Hal itu berdasarkan asumsi yang disepakati komisi-komisi bahas alokasi K/L, dan Badan Anggaran merumuskan secara hasil akhir pembahasan tersebut, untuk kemudian disetujui disetujui DPR dalam sidang paripurna.
Setelah melewati proses legislasi seperti itu, kata Didik, anggaran negara tersebut bisa dialokasikan untuk dilaksanakan di sektor-sektor oleh kementerian/lembaga dan di daerah oleh pemda.
“Inilah proses yang sah dari program pemerintah yang melibatkan alokasi anggaran negara. Tidak bisa lewat keputusan menteri atau SK gubernur,” kata Didik.
Dia melanjutkan, pengeluaran dana Rp 200 triliun juga berpotensi melanggar UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, terutama Pasal 22, ayat 4, ayat 8, dan ayat 9. Bunyi ayat 4 yakni: dalam pelaksanaan operasional penerimaan negara dan pengeluaran negara, Bendahara Umum Negara dapat membuka rekening penerimaan (pajak dan PNBP) dan rekening pengeluaran (operasional APBN) di bank umum.
Bunyi ayat 8 adalah: rekening pengeluaran diisi dana dari Rekening Umum Kas Negara (RKUN) di bank sentral.
Bunyi ayat 9: jumlah dana yang disediakan di rekenin pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (8) disesuaikan dengan rencana pengeluaran untuk membiayai kegiatan pemerintah yang telah ditetapkan dalam APBN.
“Pengeluaran anggaran negara untuk program-program yang tidak ditetapkan oleh APBN jelas melanggar Ayat 9. Ayat ini sangat jelas membatasi jumlah dan tujuan penempatan sebatas pada operasional pengeluaran sesuai rencana pemerintah yang sudah ditetapkan dalam APBN, bukan untuk program-program yang seingat di kepala lalu dijalankan,” jelas Didik.
Oleh sebab itu, Didik menilai, jelas bahwa tujuan dan jumlah penempatan dana pemerintah di bank umum hanya untuk kepentingan operasional pengeluaran APBN yang jumlah dan penggunaannya sudah ditetapkan DPR. Bukan untuk disalurkan oleh bank ke industri melalui skema kredit umum yang lepas dari pembiayaan APBN.
“Meskipun tujuannya baik, penempatan anggaran publik (dana pemerintah) di perbankan melenceng dari amanah Pasal 22 khususnya ayat 8 dan 9 UU Nomor 1/2004 tersebut,” ujar Didik.
Pada ayat 4, beleid tersebut membolehkan Menteri Keuangan membuka rekening (penerimaan dan pengeluaran) di bank umum. Tetapi rekening tersebut terbatas pada kepentingan operasional APBN, bukan untuk melaksanakan program yang tidak ditetapkan APBN.
“Penempatan dana Rp200 triliun dari anggaran negara secara spontan tersebut juga melanggar Pasal 22 ayat 4 UU 1/2004 tersebut,” lanjutnya.
Atas analisisnya tersebut, Didik meminta kepada Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan atensinya pada persoalan kucuran dana Rp200 triliun, yang digadang-gadang bisa menumbuhkan kredit dan mengerek pertumbuhan ekonomi itu.
“Saya menganjurkan agar presiden turun tangan untuk menghentikan program dan praktek jalan pintas seperti ini karena telah melanggar setidaknya tiga undang-undang dan sekaligus konstitusi,” ujar Didik.dilansir dari situs resmi ekonomi republika co.id