Breaking News

Breaking News

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi kembali menjadi sorotan publik setelah mengungkap langsung dugaan penggelapan dana bantuan senilai Rp200 juta yang seharusnya diberikan kepada warga terdampak pembongkaran bangunan liar di Desa Srimukti, Bekasi. 

Dalam pertemuan dengan tiga warga desa tersebut, Dedi menyampaikan bahwa dana bantuan yang berasal dari anggaran gubernur telah disalurkan, namun tidak sampai ke tangan penerima yang berhak.

“Ini bukan penipuan. Dia melakukan penggelapan,” tegas Dedi Mulyadi dalam video yang diunggah melalui kanal YouTube resminya. Pernyataan ini muncul setelah warga mengungkap bahwa sejumlah bangunan yang tidak dibongkar justru menerima kompensasi, sementara bangunan yang dibongkar tidak mendapat apa-apa. Kejanggalan ini memicu pertanyaan besar: ke mana sebenarnya dana bantuan itu mengalir?

Kasus ini bermula dari pembongkaran bangunan liar di atas tanah milik Perum Jasa Tirta (PJT) yang dilakukan oleh Satpol PP. Menurut warga, ada bangunan yang tidak dibongkar karena disebut berdiri di atas tanah bersertifikat. Namun, bangunan tersebut tetap menerima dana kompensasi. Ketika ditanya soal sertifikat, warga mengaku hanya mendengar pernyataan dari oknum Satpol PP, tanpa pernah melihat bukti fisik sertifikat tersebut.

Dedi Mulyadi, yang dikenal vokal dalam menertibkan aset negara dan memperjuangkan hak rakyat kecil, langsung menanggapi dengan nada serius. Ia mempertanyakan logika pemberian kompensasi kepada bangunan yang tidak dibongkar. “Kalau nggak dibongkar dan bersertifikat, berarti tidak usah dapat kompensasi dong. Artinya tidak usah diajukan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Dedi menanyakan jumlah bangunan yang tidak dibongkar namun tetap menerima dana bantuan. Dari penelusuran awal, jumlahnya cukup signifikan dan mengarah pada dugaan kuat bahwa dana bantuan senilai Rp200 juta telah disalahgunakan oleh oknum yang mengatur proses distribusi.

Dalam konteks hukum, Dedi membedakan antara penipuan dan penggelapan. Penipuan melibatkan tipu daya untuk memperoleh sesuatu dari korban, sementara penggelapan terjadi ketika seseorang yang sudah memegang barang atau uang secara sah kemudian menyalahgunakannya. “Dia sudah pegang uangnya, tapi tidak disalurkan sesuai peruntukan. Itu penggelapan,” jelas Dedi.

Kasus ini membuka kembali perdebatan tentang transparansi dana bantuan di tingkat lokal. Meski dana berasal dari pemerintah provinsi, proses distribusinya seringkali melibatkan perangkat desa, Satpol PP, dan pihak ketiga yang tidak selalu diawasi secara ketat. Akibatnya, celah untuk penyalahgunaan terbuka lebar.

Dedi Mulyadi berjanji akan menindaklanjuti kasus ini secara hukum dan administratif. Ia juga meminta warga untuk berani melaporkan jika menemukan kejanggalan serupa. “Jangan takut. Negara harus hadir untuk melindungi rakyatnya, bukan membiarkan mereka dipermainkan oleh oknum,” katanya.

Kasus penggelapan dana bantuan ini menjadi pengingat bahwa integritas dalam birokrasi bukan hanya soal kebijakan besar, tetapi juga soal bagaimana bantuan langsung benar-benar sampai ke tangan rakyat. Di tengah semangat kemerdekaan dan janji pemerataan, kasus ini menjadi ujian nyata bagi komitmen pemerintah dalam menegakkan keadilan sosial.

Apakah ini akan menjadi awal dari reformasi distribusi bantuan di Jawa Barat? Publik menunggu langkah konkret dari Dedi Mulyadi dan aparat penegak hukum. Yang jelas, Rp200 juta bukan angka kecil—dan kepercayaan rakyat jauh lebih mahal dari itu. dilansir dari situs resmi garut 60 detik co.id.

Leave a Comment

javanica post

Javanica Post adalah portal berita online yang dikelola oleh PT. Javanica Media Digital, salah satu anak perusahaan dari Javanica Group.

Edtior's Picks

Latest Articles

©2024 javanica post. All Right Reserved. Designed and Developed by Rizarch