Paulus Tannos, buron kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik atau e-KTP, ditangkap di Singapura. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Fitroh Rohcahyanto mengatakan, Tim KPK sedang berkoordinasi untuk melakukan ekstradisi terhadap Paulus Tannos.
“KPK saat ini telah berkoordinasi dengan Polri, Kejagung, dan Kementerian Hukum sekaligus melengkapi persyaratan yang diperlukan guna dapat mengekstradisi yang bersangkutan ke Indonesia untuk secepatnya dibawa ke persidangan,” kata Fitroh dalam keterangannya, Jumat (24/1/2025).
Paulus Tannos, selaku Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra, ditetapkan sebagai tersangka pada 13 Agustus 2019 atas pengadaan paket penerapan kartu tanda penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (e-KTP) tahun 2011 hingga 2013 pada Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia.
Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama tiga orang lainnya, yaitu mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Isnu Edhi Wijaya, Anggota DPR RI 2014–2019 Miryam S. Haryani, dan mantan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan e-KTP Husni Fahmi.
Ketiga orang tersebut sudah dijatuhi hukuman sebagaimana putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan catatan Kompas.com, kasus korupsi proyek e-KTP terendus akibat kicauan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat (PD), Muhammad Nazaruddin.
KPK kemudian mengungkap adanya kongkalingkong secara sistemik yang dilakukan oleh birokrat, wakil rakyat, pejabat BUMN, hingga pengusaha dalam proyek pengadaan e-KTP pada 2011-2012. Akibat korupsi berjamaah ini, negara mengalami kerugian mencapai Rp 2,3 triliun.
Dalam perkara pokok kasus korupsi e-KTP, ada 8 orang yang sudah diproses dan divonis bersalah. Mereka adalah mantan Ketua DPR Setya Novanto, dua mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, pengusaha Made Oka Masagung, dan mantan Direktur PT Murakabi Sejahtera Irvanto Hendra Pambudi Cahyo (keponakan Novanto).
Kemudian, pengusaha Andi Narogong, Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo, dan mantan anggota DPR Markus Nari. Korupsi dimulai setelah rapat pembahasan anggaran pada Februari 2010.
Saat itu, Irman, yang masih menjabat sebagai Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, dimintai sejumlah uang oleh Ketua Komisi II DPR Burhanudin Napitupulu. Permintaan uang itu bertujuan agar usulan anggaran proyek e-KTP yang diajukan Kemendagri disetujui Komisi II DPR.
Proyek e-KTP ini memang dibahas di Komisi II DPR sebagai mitra dari Kemendagri. Irman kemudian menyetujui permintaan tersebut dan menyatakan bahwa pemberian fee kepada anggota DPR akan diselesaikan oleh Andi Agustinus alias Andi Narogong. Irman sendiri bekerja sama dengan Andi Narogong agar perusahaan Andi dimenangkan dalam tender proyek e-KTP.
Andi dan Irman kemudian meminta bantuan kepada Setya Novanto, yang saat itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Golkar. Mereka berharap agar Novanto dapat mendukung dalam penentuan anggaran proyek ini. Novanto pun menyatakan akan mengkoordinasikan dengan pimpinan fraksi yang lain agar memuluskan pembahasan anggaran proyek e-KTP di Komisi II DPR.
Beberapa nama disebut-sebut ikut dalam sejumlah pertemuan untuk membahas anggaran proyek e-KTP, termasuk Nazaruddin dan Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR kala itu, Anas Urbaningrum. Dari beberapa kali pertemuan, disepakati anggaran proyek e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun. Sebanyak 51 persen dari total anggaran, yaitu Rp 2,662 triliun, akan digunakan untuk belanja modal atau belanja riil proyek, dan sisanya 49 persen, yakni Rp 2,5 triliun, akan menjadi bancakan.
Rincian uang korupsi tersebut dibagi kepada pejabat Kemendagri sebesar 7 persen (Rp 365,4 miliar), anggota Komisi II DPR 5 persen (Rp 261 miliar), Setya Novanto dan Andi Narogong 11 persen (Rp 574,2 miliar), Anas dan Nazaruddin 11 persen (Rp 574,2 miliar), serta sisa 15 persen (Rp 783 miliar) akan diberikan sebagai keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan.
Hukuman pelaku
Pengadilan sudah memvonis bersalah kepada 8 orang yang terlibat dalam kasus korupsi e-KTP.
Berikut rinciannya:
1. Sugiharto: 5 tahun penjara (vonis 22 Juni 2017)
2. Irman: 7 tahun penjara (vonis 20 Juli 2017)
3. Andi Narogong: 8 tahun penjara (21 Desember 2017)
4. Setya Novanto: 15 tahun penjara (divonis 24 April 2018, kemudian mengajukan peninjauan kembali (PK) setahun setelahnya)
5. Anang Sugiana Sudihardjo: 6 tahun penjara (divonis 30 Juli 2018, inkrah setelah banding dan PK)
6. Made Oka Masagung: 10 tahun penjara (divonis 5 Desember 2018, mengajukan PK dan ditolak pada 2020)
7. Irvanto Hendra Pambudi Cahyo: 10 tahun penjara (divonis 5 Desember 2018)
8. Markus Nari: 6 tahun penjara (divonis 11 November 2019)
9. Miryam S. Haryani: 5 tahun penjara (divonis 13 November 2017) (dari pengembangan kasus Paulus Tannos)
10. Husni Fahmi: 4 tahun penjara (divonis Oktober 2022) (dari pengembangan kasus Paulus Tannos)
11. Isnu Edhi Wijaya: 4 tahun penjara (divonis Oktober 2022) (dari pengembangan kasus Paulus Tannos),dilansir dari situs resmi kompas co.id