Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah sepakat menghapus ketentuan yang menyebut Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai penyidik tertinggi dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
Keputusan itu diambil dalam rapat Panitia Kerja (Panja) RKUHAP di Kompleks Parlemen, Kamis (13/11/2025). Langkah ini menandai perubahan penting dalam arah pembahasan RKUHAP, yang kini difokuskan untuk memperjelas pembagian kewenangan antar-lembaga penegak hukum.
Ketentuan bahwa Polri merupakan penyidik tertinggi sebelumnya tercantum dalam Pasal 6 RKUHAP, namun akhirnya dihapus setelah dipastikan substansinya telah diatur dalam undang-undang lain.
Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menjelaskan bahwa penghapusan pasal tersebut dilakukan dengan pertimbangan keselarasan regulasi. Ia menilai, tidak perlu ada pengulangan norma hukum yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
“Terkait pasal 6, kemarin kita sudah drop [turunkan] yang jaksa penuntut tertinggi yang dipilih presiden karena itu sudah diatur di UU Kejaksaan. Maka hal yang sama kita perlakukan pada Polri. Sebab sudah diatur di UU Polri maka tidak usah diatur di sini lagi,” ujar Habiburokhman dalam rapat Panja.
Ia kemudian menegaskan kembali sikap Komisi III dan meminta persetujuan seluruh anggota rapat.
“Sudah disesuaikan dengan kejaksaan sama ya. Setuju?” ucapnya yang langsung disambut seruan setuju dari para anggota. Dalam draf RKUHAP sebelumnya, Pasal 6 mengatur bahwa penyidik terdiri dari penyidik Polri, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dan penyidik tertentu.
Polri disebut memiliki kewenangan menyidik seluruh tindak pidana. Namun setelah pembahasan dengan pemerintah, ketentuan tersebut dinilai redundant dan akhirnya dihapus untuk mencegah tumpang-tindih kewenangan antar-lembaga.
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej, menegaskan pentingnya percepatan pembahasan RKUHAP agar tidak menimbulkan kekosongan hukum. Ia mengingatkan bahwa keterlambatan pengesahan bisa berdampak pada proses penegakan hukum nasional.
Jika RKUHAP tidak disahkan sebelum 2 Januari 2026, menurutnya status hukum para tahanan di kepolisian dan kejaksaan berpotensi bermasalah.
Eddy menambahkan bahwa RKUHAP yang baru akan difokuskan untuk menyelaraskan sistem hukum acara pidana agar sejalan dengan KUHP baru dan tidak tumpang-tindih dengan undang-undang sektoral lain yang sudah berlaku. dilansir dari situs resmi nu online co.id