Selama hampir lima jam lamanya Roy Suryo menjalani pemeriksaan di Polda Metro Jaya pada Kamis kemarin (15/05).
“Saya menjawab sekitar 26 pertanyaan,” kata mantan anggota Komisi I DPR RI itu kepada media, usai memenuhi panggilan polisi untuk memberikan klarifikasi.
“Pelapornya yang saya baca tadi adalah Ir Haji Joko Widodo … tapi lucunya, tidak ada terlapornya, sekali lagi ya, tidak ada nama terlapor.”
Roy mengatakan pertanyaan yang dijawabnya hanya seputar riwayat hidupnya dan mengatakan tidak meladeni pertanyaan yang di luar konteks undangan pemeriksaan.
Selain Roy, Tifauzia Tyassuma atau yang dikenal sebagai Dr Tifa juga memenuhi undangan klarifikasi Polda Metro Jaya.
Dr Tifa mengatakan sampai dirinya selesai diperiksa, ia tidak mendapat penjelasan dari penyidik mengenai peristiwa yang dilaporkan terlapor pada 26 Maret 2025 di Jakarta Selatan, seperti yang tercantum dalam undangan klarifikasi.
“Jadi hampir 100 persen pertanyaan yang disampaikan oleh penyidik sama sekali tidak ada kaitannya dengan peristiwa tanggal 26 Maret 2025 di Jakarta Selatan,” jelasnya dalam konferensi pers kemarin.
“Dan karena itu saya juga menggunakan hak saya untuk tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak relevan dengan substansi dari undangan klarifikasi ini,” ujarnya seusai memenuhi panggilan polisi (15/05).
Pada 30 April 2025, Joko Widodo bersama kuasa hukumnya mendatangi Polda Metro Jaya untuk melaporkan tudingan ijazah palsu terhadapnya.
“Ini sebetulnya masalah ringan, urusan tuduhan ijazah palsu. Tetapi perlu dibawa ke ranah hukum, agar semua jelas dan gamblang ya,” kata Jokowi, seperti dilansir Antara.
Kuasa Hukum Joko Widodo, Yakup Hasibuan, mengatakan laporan ke polisi dilakukan karena Presiden Indonesia ke-7 tersebut menilai tuduhan ijazah palsu adalah “fitnah”
Yakup juga menyebut ada sejumlah bukti dan nama-nama yang diserahkan ke penyidik.
“Ada 24 video, 24 objek yang sudah Pak Jokowi laporkan juga, yaitu diduga dilakukan oleh beberapa pihak. Mungkin inisialnya kalau boleh disampaikan ada RS, RS, ES, T dan inisial K,” kata Yakup kepada Detik.com.
Desakan agar Jokowi memperlihatkan ijazah asli sarjana kehutanan keluaran UGM menguat, menyusul analisis ahli forensik digital Rismon Sianipar, yang mempertanyakan kejanggalan skripsi Jokowi pada tahun 1985 yang menjadi persyaratan kelulusan sarjana.
Rismon antara lain mempertanyakan penggunaan huruf jenis Times New Roman yang baru ada di aplikasi Microsoft Word yang menggunakan Windows 3.1 pada 1992.
Ia juga mempersoalkan tidak adanya lembar pengesahan dari dosen penguji Jokowi, serta nama dosen yang menguji.
Bersama dengan Roy Suryo dan Dr Tifa, Rismon juga mendatangi Universitas Gadjah Mada pada 15 April lalu.
Tiga alumnus UGM ini, bersama dengan ratusan orang lainnya, mempertanyakan keaslian skripsi dan ijazah Jokowi.
Perjalanan kasus dugaan ijazah palsu Jokowi
Tapi sebenarnya pangkal kegaduhan ini sudah mulai naik ke permukaan sejak enam tahun yang lalu.
Di bulan Januari pada 2019 menjelang pemilihan presiden, seorang lelaki bernama Umar Kholid Harahap ditangkap polisi karena unggahannya di Facebook.
“UKH mengunggah berita bohong terkait dokumen palsu di dalam akun Facebook miliknya,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri saat itu, Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo, seperti dikutip Tempo (20/01/2019).
Kabar bohong yang dimaksud adalah pertanyaannya soal ijazah SMA Jokowi yang dianggapnya palsu, karena tertulis Jokowi lulus dari SMAN 6 Surakarta pada tahun 1980 sementara sekolah itu menurutnya baru berdiri pada 1986.
Kepala SMAN 6 Surakarta 2015-2020 menjelaskan SMAN 6 Surakarta dulunya bernama Sekolah Menengah Pembangunan Persiapan (SMPP) yang menerima murid angkatan pertama baru tahun 1976, termasuk di dalamnya Jokowi.
Pada 1985, SMPP berubah nama menjadi Sekolah Menengah Utama Tingkat Atas, lalu berubah menjadi SMAN 6 Surakarta.
“Pak Jokowi lulus tahun 1980. Maka logis kalau ijazahnya Pak Jokowi bunyinya tidak SMAN 6 Surakarta. Ijazahnya Pak Jokowi masih SMPP,” kata Agung seperti dikutip Kompas.com.
Umar ditangkap, namun tidak ditahan dan hanya diharuskan wajib lapor.
Pada 2022 muncul nama Bambang Tri Mulyono yang membuat buku berjudul Jokowi Undercover 2: Lelaki Berijazah Palsu.
Buku berisi 223 halaman ini berisi sejumlah tuduhan terhadap riwayat pendidikan Jokowi berdasarkan kesaksian orang-orang dekat Jokowi, yang dinilainya berbohong.
Selain itu, Bambang juga menganalisis sejumlah foto-foto Jokowi di masa lalu, termasuk foto ijazahnya.
Ia menuding Jokowi memakai ijazah palsu saat mendaftarkan diri pada Pilpres 2019, kemudian menggugat Jokowi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan pasal perbuatan melawan hukum.
Tetapi di tengah persidangan yang sedang berjalan, kuasa hukum Bambang mencabut gugatan itu karena kliennya dikenakan status tersangka untuk kasus lain yang menyangkut ujaran kebencian.
Dua tahun setelahnya, pada 2024, Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Eggi Sudjana menggugat Jokowi karena dugaan penggunaan ijazah S1 palsu ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Tapi majelis hakim menyatakan gugatan tersebut tidak bisa diterima karena alasan kewenangan.
Yang terbaru, kini tengah bergulir di Pengadilan Negeri Solo, gugatan dari Muhammad Taufiq.
Pengacara asal Solo itu menggugat Jokowi, KPU Kota Solo, SMAN 6 Surakarta, dan Universitas Gadjah Mada atas tuduhan ijazah palsu SMA dan S1 Jokowi.
Jika palsu, apa arti dan dampaknya bagi kita?
Ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menyebut polemik ijazah palsu Jokowi, termasuk jika nantinya terbukti palsu tidak berdampak secara ketatanegaraan.
Artinya ini tidak akan mengubah apa pun yang diputuskan selama pemerintahan Joko Widodo.
“Tetapi aspek pidananya akan sangat kuat, baik itu kepada Jokowi maupun penyelenggara pemilunya karena bukan tidak mungkin ada upaya sengaja melakukan penipuan besar-besaran dalam proses penyelenggaraan demokrasi,” kata Feri kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.
Feri juga mengatakan perlunya peran parlemen yang kritis karena ini “bisa menjadi pintu bagi DPR untuk mengajukan hak interpelasi, angket, atau menyatakan pendapat.”
“Yang paling menarik interpelasi, karena berupa penyelidikan tentang apa yang sesungguhnya terjadi, kenapa katakanlah pidana pemalsuan surat berharga semacam itu bisa berlangsung … selama 22 tahun dalam sistem penyelenggaraan pemilu kita.”
Jika memang terbukti palsu, pengabaian verifikasi faktual ijazah Jokowi yang terjadi sejak dari Solo ini, menurut Fer, bisa menjadi bukti bahwa “penyelenggara kita memiliki kualitas yang buruk dan memiliki motif sebagai alat kecurangan.”
Feri mendesak adanya proses yang sungguh-sungguh dari parlemen untuk membongkarnya.
“Kecuali memang parlemen juga ikut serta dalam permainan dan berbagai kecurangan dalam pemilu.”
‘Banyak kasus yang lebih penting’
Menurut Feri, kasus ini “terlalu mudah dibuktikan” untuk dibiarkan berlarut-larut sejauh ini oleh UGM.
“Saya menduga ada motif lain kenapa kasus ini tidak selesai-selesai … tidak hanya selalu untuk tampil di media sehingga orang membicarakan dia, tapi dugaannya ujung dari ini semua tidak ditemukan problem sama sekali … sehingga yang diuntungkan adalah Jokowi,” ujar Feri.
“Saya meyakini banyak kasus yang lebih penting untuk diekspos dan dibongkar … saya merasa banyak hal yang sebenarnya lebih baik dipikirkan bangsa ini karena kasus ini terlalu sepele untuk dikonsumsi publik lebih dari dua tahun,” tambahnya.
Senada dengan Feri, salah satu dosen UGM yang tidak ingin disebut namanya mengatakan kepada ABC Indonesia bahwa masalah ijazah palsu ini malah akan menguntungkan Jokowi.
“Orang-orang menjadi tidak fokus ke problem kebijakan yang dia ambil saat menjadi presiden … ada banyak kebijakan dia yang ngawur seperti IKN, impor gula, itu semua jadi enggak ada yang lihat.”
Rabu kemarin (14/05), Presiden kelima Indonesia Megawati Soekarnoputri dalam pidatonya di Badan Riset Nasional (BRIN) juga menyinggung polemik ijazah palsu walau tanpa menyebut nama Jokowi.
“Orang banyak kok sekarang gonjang-ganjing urusan ijazah, bener opo enggak? Ya kok susah amat ya, kan kalau ada ijazah betul gitu, kasih aja, ‘ini ijazah saya’ gitu loh,” kata Mega. dilansir dari situs resmi abc australia co.id.