Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Timur resmi mengeluarkan fatwa kontroversial yang mengharamkan penggunaan sound horeg dengan intensitas suara melebihi batas wajar. Fatwa bernomor 1 Tahun 2025 ini ditetapkan pada 12 Juli 2025 setelah menerima surat permohonan dari masyarakat yang resah dengan fenomena sound horeg di Jawa Timur.
Keputusan MUI Jawa Timur ini dipicu oleh adanya pro dan kontra di masyarakat yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal. Bahkan, telah terbentuk gerakan penolakan yang berhasil mengumpulkan 828 tanda tangan dalam petisi penolakan sound horeg per tanggal 3 Juli 2025.
“Perbedaan pendapat di masyarakat berpotensi menjurus pada konflik horizontal yang sangat merugikan,” demikian pertimbangan MUI dalam fatwa yang ditandatangani Ketua Komisi Fatwa KH. Makruf Chozin.
Dalam fatwa tersebut, MUI mendefinisikan sound horeg sebagai sistem audio berpotensi volume tinggi yang biasanya fokus pada frekuensi rendah (bass). Istilah “horeg” berasal dari bahasa Jawa yang berarti “bergetar” atau “bergerak”.
MUI menetapkan beberapa ketentuan hukum yang tegas. Pertama, diharamkan—jika sound horeg digunakan dengan intensitas suara melebihi batas wajar yang dapat mengganggu kesehatan, merusak fasilitas umum, atau disertai dengan musik diiringi joget pria wanita dengan membuka aurat dan kemunkaran lain.
Kedua, dibolehkan—jika digunakan dengan intensitas wajar untuk kegiatan positif seperti resepsi pernikahan, pengajian, dan shalawatan, serta steril dari hal-hal yang diharamkan.
Ketiga, haram mutlak, untuk battle sound atau adu sound yang dipastikan menimbulkan mudarat berupa kebisingan melebihi ambang batas dan berpotensi tabdzir (menyia-nyiakan harta).
Fatwa ini juga menetapkan kewajiban ganti rugi bagi pengguna sound horeg yang intensitas suaranya melebihi batas wajar dan mengakibatkan kerugian terhadap pihak lain.
MUI memberikan sejumlah rekomendasi strategis, antara lain meminta Pemerintah Provinsi Jawa Timur menginstruksikan pemerintah kabupaten/kota untuk segera membuat aturan tentang penggunaan alat pengeras suara, mulai dari perizinan, standar penggunaan, hingga sanksi.
Menarik, MUI juga meminta Kementerian Hukum dan HAM RI untuk tidak mengeluarkan legalitas berkaitan dengan sound horeg, termasuk Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sebelum ada komitmen perbaikan dan penyesuaian sesuai aturan yang berlaku.
Kepada masyarakat, MUI mengimbau untuk memilah dan memilih hiburan yang positif, tidak membahayakan diri sendiri, serta saling memahami dan menghormati hak asasi orang lain tanpa melanggar norma agama maupun aturan negara.
Fatwa ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan dapat diperbaiki dan disempurnakan jika diperlukan di kemudian hari. MUI juga menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini agar dapat diketahui oleh setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan.
Fatwa ini ditandatangani oleh Ketua Komisi Fatwa KH. Makruf Chozin, Sekretaris KH. Sholihin Hasan, M.H.I, serta diketahui oleh Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI Jawa Timur KH. Moh. Hasan Mutawakkil Alallah, S.H., M.M dan Sekretaris Umum Prof. Akh. Muzakki, M.Ag., Grad.Dip.SEA., M.Phil., Ph.D. dilansir dari situs resmi jakartasatu co.id.