Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Ficar Hadjar, menilai Sungai Budi Group dapat ditetapkan sebagai tersangka korporasi apabila Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki setidaknya dua alat bukti yang cukup.
Menurut Ficar, KPK perlu mengumpulkan bukti tersebut melalui langkah-langkah upaya paksa, seperti penetapan tersangka individu dalam perusahaan tersebut, penggeledahan, dan pemeriksaan pihak-pihak terkait dalam perkara tersebut.
Hal ini termasuk dalam kasus dugaan suap PT Inhutani V terkait pengelolaan kawasan hutan dan pengadaan Bantuan Sosial (Bansos) Presiden Covid-19 di wilayah Jabodetabek, Kementerian Sosial (Kemensos) RI.
“Sudah saya jawab, syaratnya minimal ada dua alat bukti,” kata Ficar saat dihubungi Inilah.com, Jumat (3/10/2025).
Ficar menjelaskan, apabila Sungai Budi Group ditetapkan sebagai tersangka korporasi dan proses hukumnya berlanjut hingga ke persidangan, perusahaan tersebut dapat dijatuhi sanksi berupa denda hingga pencabutan izin usaha atau pembubaran perusahaan.
“Hukuman terhadap orang dan korporasi hampir sama, hukum penjara/mati dan denda bagi orang, bagi korporasi bayar denda atau cabut izin PT/bubarkan,” ucap Ficar.
Sebelumnya diberitakan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka peluang menetapkan PT Sungai Budi Group (SBG) sebagai tersangka korporasi. Pasalnya, konglomerat agribisnis terbesar di Indonesia ini terseret dalam dua kasus korupsi. Pertama terkait dugaan suap pengelolaan kawasan hutan di Lampung antara PT Inhutani V (INH)—anak perusahaan Perum Perhutani—dengan PT Paramitra Mulia Langgeng (PML), anak perusahaan PT Sungai Budi Group.
Selain itu, pemegang merek minyak dan tepung Rose Brand ini juga diduga terlibat sebagai vendor dalam pengadaan Bantuan Sosial (Bansos) Presiden Covid-19 di wilayah Jabodetabek, Kementerian Sosial (Kemensos) RI.
“Untuk Sungai Budi itu, kita melihat kalau korporasi itu begini, ketika ditetapkan sebagai tersangka ya, tersangka korporasi misalkan seperti itu,” kata Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (1/10/2025).
Asep menegaskan, penetapan tersangka korporasi harus dibuktikan dengan minimal dua alat bukti yang sah.
“Nah itu kita harus melihat atau benar-benar memastikan bahwa si perusahaan tersebut hanya digunakan itu untuk memang alat melakukan korupsi,” sambung Asep.
Saat ini, lanjut Asep, KPK masih mendalami peran individu di PT Sungai Budi Group dalam dua kasus korupsi tersebut. Dalam perkara suap pengelolaan kawasan hutan, penyidik telah menetapkan tersangka pemberi suap yakni Direktur PT PML, Djunaidi (DJN), serta staf perizinan Sungai Budi Group, Aditya (ADT). Suap itu diberikan kepada Direktur Utama PT Inhutani V (INH), Dicky Yuana Rady (DIC), yang menjadi tersangka penerima.
Dalam konstruksi perkara, PT PML diduga mengalirkan dana miliaran rupiah agar bisa mengelola kawasan hutan PT Inhutani V seluas ±55.157 hektare di Lampung. Suap tersebut termasuk Rp100 juta untuk kebutuhan pribadi Dicky. Memasuki 2025, Dicky menandatangani Rencana Kerja Tahunan (RKT) PT Inhutani V yang kembali menguntungkan PT PML.
Pada Juli 2025, Dicky meminta satu unit mobil baru kepada Djunaidi, yang kemudian dipenuhi. Pada Agustus 2025, Aditya mengantarkan uang SGD189.000 atau sekitar Rp2,4 miliar dari Djunaidi untuk Dicky di Kantor Inhutani, bersamaan dengan pembelian mobil Jeep Rubicon merah seharga Rp2,3 miliar.
“Posisi Sungai Budi Group ya, ini ada di perkaranya Inhutani juga di perkaranya Bansos. Jadi untuk yang di perkaranya Inhutani itu terkait dari oknumnya yang salah satu pegawainya yang ada di sana. Kalau yang pertama karena di sini ada suap, jadi ada pegawainya atau direkturnya di sana secara struktural gitu ya,” ucap Asep.
Sementara dalam kasus Bansos Presiden, KPK pernah memeriksa Michael Setiaputra (MS), Kepala Cabang PT Sungai Budi Group, pada Selasa (9/10/2025). Pemeriksaan dilakukan terkait dugaan penurunan kualitas barang dan praktik markup harga dalam pengadaan bansos Covid-19 di wilayah Jabodetabek.
PT Sungai Budi Group, dikenal melalui produk minyak dan tepung bermerek Rose Brand, dipanggil penyidik KPK untuk dimintai keterangan mengenai keterlibatannya dalam proyek bansos tersebut.
“Jadi kami sedang menyusuri kalau yang di Bansos itu terkait dengan pembelian sembako yang ada di dalam paketnya tersebut. Itu ada beras, kemudian gula, kemudian minyak dan lain-lain. Kita sedang mendalami berapa sebetulnya harga pokok dari bahan-bahan tersebut yang ada di dalam paket tersebut,” jelas Asep.dilansir dari situs resmi inilah co.id