PARA akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta menilai anggaran per porsi Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dipatok saat ini sulit memenuhi standar gizi yang diharapkan. “Apakah penentuan nominal itu sudah melibatkan ahli gizi? ” ujar Muhsin Al Anas, pakar peternakan UGM pada Sabtu, 27 September 2025.
Dari perhitungan kasar yang telah dilakukannya, anggaran per porsi MBG sekitar Rp 10.000 per anak terutama di wilayah Pulau Jawa adalah sangat mepet, bahkan kurang dengan standar minimum kebutuhan asupan protein hewani pada menu makan yang dibagikan pada siswa sekolah.
Harga telur ayam, misalnya. Harga komoditas itu saat ini per kilogramnya Rp 26.000 – Rp 27.000 dengan isi sekitar 16 butir. Artinya, harga satu butir telur mentah atau belum diolah sekitar Rp 1.600.
Muhsin juga membeberkan anggaran untuk menyediakan susu di MBG. Harga susu sapi mentah di kalangan peternakan rakyat berkisar Rp 8.000 – Rp 9.000 per liter dan setelah diproses menjadi siap minum cukup, harga termurah sekitar Rp 15.000 per liter.
“Untuk anak-anak mungkin kebutuhannya ideal 100-150 mililiter, jadi per porsi susu katakanlah per anak kebutuhannya Rp 1.500 – Rp 2.000,” kata dia.
Sedangkan jika dalam menu itu diselipkan menu daging unggas seperti ayam, harga per kilogramnya berkisar Rp 35 ribu dengan bobot karkas 1,5 kilogram. Dari ayam ini biasanya dipotong kecil bisa mencapai 14 potong. Sehingga per porsi potongan bobotnya sekitar 100-105 gram-an dengan alokasi anggaran perkiraan sekitar Rp 2.500-an.
Dari tiga item protein hewani itu saja jika semua diolah dan dimasak untuk disajikan diperkirakan sudah memakan biaya sekitar Rp 6.500- Rp 7.500. Sedangkan sisanya untuk alokasi nasi dan sayur.
“Harga ini tentu saja belum termasuk keuntungan yang disediakan penyedia MBG, jadi biasanya dari Rp 10.000 per porsi itu akan ditekan lagi untuk mendapatkan keuntungan, dengan variasi menu lain yang lebih murah dan masuk,” kata Muhsin.
Muhsin pun menyangsikan dengan anggaran itu penyedia bakal memasukkan protein hewani seperti daging sapi ke dalam menu MBG. Apalagi harga daging sapi sudah di kisaran Rp 100.000 per kilogramnya.
Oleh sebab itu pula, ia mengaku sejak awal tak yakin program andalan Presiden Prabowo Subianto itu bisa memenuhi standar kebutuhan minimum gizi anak-anak. Hitung-hitungan anggaran per porsi tersebut juga sangat jauh dari realitasnya di lapangan.
“Menurut kami, soal nominal itu sudah tidak rasional. Sehingga para eksekutor teknis di lapangan akhirnya memutar berbagai cara bagaimana anggaran itu bisa masuk. Makanya kita kemudian menemukan menu-menu MBG seperti yang ada saat ini.”
Sementara itu, akademisi Fakultas Peternakan UGM lainnya, Muhlisin, mendesak agar pemerintah terutama Badan Gizi Nasional atau BGN semestinya segera mengevaluasi program ini. Sebab, program ini telah belakangan memicu ribuan kasus keracunan para penerima program itu di Tanah Air.
“Seharusnya dari awal pemerintah melibatkan kalangan akademisi dan swasta, bagaimana menentukan nominal dengan jumlah gizi yang masuk,” kata dia.
Sedangkan Ketua Komisi D DPRD DIY Dwi Wahyu menuturkan sebenarnya konsep kebijakan MBG sudah bagus. Namun program tersebut terlalu cepat dilaksanakan sehingga mengabaikan kajian maupun riset sehingga perlu dievaluasi.
Untuk menjaga agar program ini efektif, ia mengusulkan pengelolaan dapur umum MBG tidak ditangani oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi atau SPPG, yang merupakan dapur umum dan pelaksana program MBG. “MBG harus tetap jalan, tetapi diserahkan ke sekolah yang dikoordinir Dinas Pendidikan sesuai dengan tingkatannya,” ungkapnya.
Dengan begitu, Dinas Pendidikan memiliki RAD (Rencana Aksi Daerah) sehingga bisa dikolaborasikan dengan Dinas Pertanian yang memiliki daging, sayur dan telur maupun Dinas Kelautan dan Perikanan. “Untuk distribusi bahan diserahkan ke Dinas Perdagangan terkait dengan rantai pasok,” tuturnya.
Sejak program MBG diluncurkan, sejumlah sekolah di berbagai daerah kabupaten Yogyakarta diduga mengalami keracunan akibat menu yang disantap. Teranyar, pada September ini, puluhan siswa di sejumlah sekolah di Kecamatan Wonosari dan Semin Gunungkidul juga dilarikan rumah sakit diduga keracunan menu MBG.
Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul mengungkap hasil uji laboratorium dugaan keracunan itu, setelah menemukan adanya temuan bakteri Klebsiella pneumoniae, Staphylococcus aureus,dan Kapang/Khamir dalam sisa makanan dan muntahan siswa.dilansir dari situs resmi tempo co.id