Kabinet Israel menyetujui kesepakatan gencatan senjata pada Jumat (17/1/2025) malam, yang membuka jalan bagi pembebasan sandera pertama dari Gaza pada Minggu (19/1/2025) besok. Langkah ini juga mengakhiri konflik berdarah selama 15 bulan yang telah meluluhlantakkan Jalur Gaza.
Kesepakatan gencatan senjata di Gaza yang terdiri dari tiga tahap ini memerlukan persetujuan penuh dari Kabinet Israel yang bertemu Jumat sore. Selama perang Gaza, lebih dari 46.000 orang tewas dan 2,3 juta warga Gaza kehilangan tempat tinggal, menurut otoritas setempat.
Pada tahap pertama gencatan senjata, Hamas akan membebaskan 33 sandera Israel, termasuk wanita, anak-anak, dan pria berusia di atas 50 tahun. Sebagai imbalannya, Israel akan membebaskan antara 990 hingga 1.650 tahanan Palestina, terdiri dari anak-anak, wanita, dan pria.
Kementerian Kehakiman Israel telah merilis daftar 95 tahanan warga Palestina yang akan dibebaskan pada pertukaran pertama Minggu besok.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa kesepakatan gencatan senjata di Gaza ini bertujuan untuk membebaskan sandera dan memulihkan stabilitas. Namun, langkah ini mendapat tentangan keras dari garis keras dalam pemerintahannya, termasuk Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich.
Sementara itu, Hamas mengonfirmasi komitmennya terhadap kesepakatan ini. Setelah penundaan pada Kamis (16/1/2025), fase pertama gencatan senjata dipastikan dimulai Minggu besok.
Perang antara Israel dan Hamas telah menyebabkan penderitaan besar di Gaza. Banyak warga Gaza, seperti Reeham Sheikh al-Eid, berharap gencatan senjata ini dapat meringankan beban mereka yang selama ini bergantung pada dapur umum untuk makanan.
Serangan udara Israel masih berlanjut di Gaza hingga Jumat, menewaskan banyak warga sipil. Di Khan Younis, serangan udara menghantam tenda pengungsi, menewaskan dua orang dan melukai tujuh lainnya.
Gencatan senjata di Gaza ini diharapkan dapat meredakan konflik di wilayah Timur Tengah, yang melibatkan Iran dan kelompok-kelompok proksi seperti Hizbullah, Houthi, dan kelompok bersenjata lainnya. Namun, banyak pihak skeptis terhadap keberlanjutan perjanjian ini, terutama dari faksi garis keras Israel yang menyerukan serangan lebih lanjut terhadap Hamas, dilansir dari situs resmi beritasatu co.id