Nasib dua orang guru senior di SMA Negeri 1 Luwu Utara, Rasnal dan Abdul Muis, yang dipecat tidak hormat hingga kini masih jadi sorotan tajam publik.
Kali ini Komisi E DPRD Sulsel turut membahas kasus tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat dalam rangka menindaklanjuti aspirasi/aduan masyarakat dari Drs. Rasnal, S.Pd., M.Si, Drs. Abdul Muin terkait permasalahan hukum yang dialami, pada Rabu 12 November 2025, siang ini.
Diketahui, pemberhentian kedunya terjadi setelah Mahkamah Agung memutuskan mereka bersalah dalam kasus pengumpulan dana sukarela Rp20 ribu dari orang tua murid untuk membantu pembayaran gaji 10 guru honorer yang belum dibayar selama 10 bulan.
Kasus tersebut memicu keprihatinan mendalam dari PGRI Luwu Utara dan masyarakat luas karena upaya penggalangan dana tersebut telah melalui persetujuan komite sekolah dan wali murid tanpa paksaan.
Di media sosial kasus ini telah viral sejak sepekan terakhir. Salah satunya dibahas oleh akun undercover.id di Instagram.
Postingan akun tersebut disertai gambar kedua guru yang dipecat. Unggahan itu pun ramai dikomentari netizen dengan 12 ribu lebih tanda suka.
“ingat kita tinggal di negara yg salah, di mana orang yang jujur & tulus akan disingkirkan, sementara orang yang berbuat mungkar akan dipelihara & dibela,” kritik akun @didaaann_.
“Ini terjadi karena apa? Ya karena nirempati dan moralitas institusi yang menuntut ketaatan prosedural lebih tinggi daripada kepedulian sosial. Dua guru yang sekadar berupaya menjaga martabat rekan sejawat kini dituduh menyalahi tata kelola birokrasi. Barangkali inilah wujud baru represifitas lembut ketika ketulusan dikriminalisasi, dan kepedulian diklasifikasi sebagai kesalahan administratif, kacau,” balas akun @habibsyadzily.
“Dana untuk MBG yang begitu besar jumlahnya bisa. Tetapi untuk gaji guru tidak bisa,” sindir lainnya.
Sebelumnya, Direktur Lembaga Penelitian Sosial dan Demokrasi (LPSD), Musmulyadi, mengaku heran dengan kriminalisasi yang dialami kedua guru tersebut.
Dia mengisahkan bagaimana awal niat mulia itu berbuah duri. Kisah getir ini bermula lima tahun lalu di SMA Negeri 1 Luwu Utara. 10 guru honorer menghadapi kenyataan bahwa 10 bulan gaji mereka belum terbayarkan. Rasnal, kepala sekolah yang baru, mencoba mengurai benang kusut itu.
Ia menemukan kenyataan yang menohok: nama-nama guru itu tak terdaftar di Dapodik. Sebuah masalah “administrasi” pada sistem data pendidikan nasional. Tapi bagi para guru, ini bukan sekadar data. Ini adalah isi piring di meja makan, ini adalah keberlangsungan hidup mereka. Tanpa data itu, dana BOS takkan bisa digunakan membayar honorarium mereka.
Di tengah situasi yang mencekik, Rasnal berinisiatif. Ia memanggil dewan guru dan komite sekolah. Dari musyawarah itu, lahirlah keputusan yang tulus. Para orang tua bersedia iuran Rp20.000 per bulan demi membantu para pahlawan tanpa tanda jasa itu. Ini adalah tangan yang diulurkan dari hati ke hati, sebuah solusi darurat yang lahir dari rasa persaudaraan, meski jauh dari kata ideal.
Niat baik itu kemudian jadi duri. Sebuah laporan yang dilayankan oleh LSM sampai ke meja Polisi. Mekanisme hukum mulai bergerak dengan logikanya yang kaku
Dalam bahasa hukum, yang terjadi bukan lagi solidaritas, melainkan “penyelidikan” dan “penyidikan”. Niat baik harus berhadapan dengan prosedur baku. Dalam sistem yang kaku, kebaikan tanpa izin resmi bisa berubah menjadi kesalahan.
Proses hukum berjalan panjang. Rasnal, kepala sekolah dan seorang guru, Abdul Muis, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Pengadilan Tipikor Makassar (Judex Factie) sempat memberikan angin segar dengan putusan bebas. Pengadilan mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh kedua guru “Oemar Bakri” itu bukanlah tindak pidana.
Harapan itu sirna ketika Mahkamah Agung (Judex Juris) membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara. Puncaknya, pada 14 Oktober 2025, keduanya diberhentikan tidak dengan hormat.
Hukum, seperti kata para pemikir kritis, jarang benar-benar netral. Ia akhirnya menjadi “bahasa kekuasaan” yang terbungkus rapi. Rasnal dan Abdul Muis, dalam kacamata birokrasi, mungkin melakukan pelanggaran prosedur. Namun dalam kacamata kemanusiaan, mereka sedang menunjukkan empati. Bersolidaritas pada mereka yang tidak beruntun. Apalagi sesama guru, kolega yang terlilit masalah.
Ini adalah ironi yang menyayat. Negara lalai membayarkan hak guru selama berbulan-bulan dan kewajiban itu menguap tanpa pertanggungjawaban. Namun ketika masyarakat, dipimpin oleh seorang kepala sekolah, mengambil inisiatif untuk saling membantu, mereka justru dihukum. “Hukum, dalam wujudnya yang paling kaku, seringkali lupa pada tujuan dasarnya: melindungi manusia,” kritik Masmulyadi. dilansir dari situs resmi fajar co.id