Polemik baru mencuat terkait pengelolaan dana hasil dividen badan usaha milik negara (BUMN) oleh lembaga investasi Danantara Investasi. Lembaga yang dibentuk untuk mengelola puluhan triliun rupiah dana dividen BUMN itu disebut mengalihkan sebagian dana ke instrumen pasar keuangan, bukan ke proyek pembangunan sebagaimana mandat awalnya.
Danantara diketahui menghimpun dana lebih dari Rp80 triliun dari hasil dividen BUMN dengan tujuan mempercepat pendanaan proyek strategis nasional dan mendorong pertumbuhan ekonomi riil. Namun, laporan internal menunjukkan sekitar 15 persen dana tersebut dialokasikan ke pembelian obligasi di pasar keuangan.
Kebijakan ini diputuskan oleh Pandu Patria Sjahrir, Chief Investment Officer (CIO) Danantara, yang juga dikenal sebagai keponakan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Pengalihan dana publik ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan pengamat kebijakan publik dan ekonomi mengenai arah dan integritas pengelolaan dana tersebut.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya menegaskan bahwa dana hasil dividen BUMN seharusnya digunakan untuk pembiayaan sektor riil, seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan lapangan kerja, dan program ekonomi produktif yang langsung berdampak pada masyarakat. Ia menilai penggunaan dana publik di sektor keuangan memiliki risiko menurunkan manfaat sosial dan ekonomi yang diharapkan.
Sementara itu, Pandu Patria menjelaskan bahwa investasi di pasar obligasi bersifat sementara dan dimaksudkan untuk memberikan keuntungan jangka pendek hingga akhir 2025. Namun, pernyataan ini belum cukup menenangkan publik karena dana yang digunakan bukan uang pribadi, melainkan dana milik negara yang semestinya dikelola dengan prinsip kehati-hatian dan transparansi tinggi.
Pengamat ekonomi menilai keputusan itu berpotensi menimbulkan tiga persoalan utama. Pertama, fungsi Danantara sebagai penggerak pembangunan bisa bergeser menjadi sekadar lembaga keuangan elit yang mengejar profit. Kedua, manfaat ekonomi nyata bagi masyarakat menjadi tertunda karena dana tidak langsung dialirkan ke proyek produktif. Ketiga, risiko moral hazard meningkat bila pengawasan publik terhadap lembaga tersebut tidak diperkuat.
Meski obligasi dikenal sebagai instrumen investasi yang relatif aman, kebijakan penggunaan dana publik untuk tujuan pasar keuangan dinilai bertentangan dengan mandat pembangunan. Dana yang seharusnya memicu pertumbuhan sektor riil justru diputar di pasar modal yang manfaatnya tidak langsung terasa bagi rakyat.
Publik menuntut transparansi penuh atas pengelolaan dana dividen BUMN tersebut. Pemerintah diminta membuka informasi mengenai struktur investasi, mekanisme pengambilan keputusan, dan pihak-pihak yang terlibat. Selain itu, akuntabilitas lembaga seperti Danantara menjadi kunci untuk menjaga kepercayaan publik terhadap kebijakan investasi negara.
Kasus ini kini menjadi ujian serius bagi tata kelola keuangan publik di Indonesia. Pemerintah diharapkan memastikan bahwa dana hasil kerja BUMN benar-benar digunakan untuk mempercepat pembangunan dan bukan untuk permainan investasi yang berisiko tinggi bagi kepentingan rakyat.dilansir dari situs resmi monitorday co.id