Breaking News

Breaking News

Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan sikap hati-hati terkait Rancangan Undang-Undang Tax Amnesty Jilid 3 yang terdaftar dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2025. 

Dalam konferensi pers di Gedung Kementerian Keuangan pada Jumat, 19 September 2025, beliau menyatakan, “Saya enggak tahu saya bisa nolak apa enggak, nanti saya lihat perkembangannya seperti apa. Cuman begini, kalau dua tahun ada tax amnesty, itu akan memberi insentif kepada orang-orang untuk kibul-kibul.”

Pernyataan ini disampaikan untuk menggarisbawahi kekhawatirannya bahwa pengampunan pajak berulang dapat mendorong wajib pajak untuk sengaja menunda kewajiban atau berbohong, mengancam kepercayaan fiskal negara. 

Meski belum secara tegas menolak, Purbaya menekankan perlunya mempelajari lebih lanjut regulasi dan dampak kebijakan tersebut, dengan fokus pada penegakan hukum ketat untuk meningkatkan rasio pajak Indonesia, yang kini berada di 10,5 persen dari produk domestik bruto. 

Pernyataan ini memicu diskusi di kalangan pengusaha dan ekonom, terutama karena Komisi XI DPR tetap memperjuangkan RUU tersebut demi target penerimaan negara Rp 2.800 triliun pada 2026, sementara Kemenkeu berupaya memperkuat pengawasan digital untuk mencegah penggelapan pajak.

Definisi dan Mekanisme Tax Amnesty

Tax amnesty adalah pengampunan pajak. Tax amnesty menjadi program pemerintah yang memungkinkan wajib pajak mengakui aset atau pendapatan yang belum dilaporkan tanpa hukuman berat, cukup dengan membayar uang tebusan sederhana. 

Tax amnesty artinya kesempatan untuk membersihkan catatan pajak masa lalu agar bisa ikut serta dalam sistem ekonomi formal tanpa beban denda atau tuntutan pidana. Program ini dirancang agar orang-orang yang selama ini menyembunyikan harta bisa bergabung kembali, membayar sedikit, dan kemudian patuh ke depan.

Menurut Direktorat Jenderal Pajak, pengampunan pajak adalah “penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dan sanksi pidana di bidang perpajakan,” sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Dalam perspektif ilmu ekonomi, tax amnesty berfungsi sebagai instrumen sementara untuk memperluas basis pajak dan menstabilkan anggaran negara; dalam tata kelola pemerintahan, ia menjadi katalisator integrasi aset informal ke dalam arus keuangan resmi, mirip dengan kebijakan serupa di Brasil atau India yang berhasil menaikkan penerimaan hingga 15 persen dalam satu dekade.

Pajak merupakan pemasukan negara yang utama, menyumbang lebih dari 80 persen total pendapatan fiskal Indonesia.

Pada 2024, realisasi penerimaan pajak mencapai Rp 1.932,4 triliun, atau 100,5 persen dari target, tumbuh 3,5 persen year-on-year menurut data resmi Kementerian Keuangan. Untuk 2025, target dinaikkan menjadi Rp 2.490,9 triliun melalui Rancangan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara, mencerminkan ketergantungan negara pada sektor ini untuk membiayai infrastruktur, subsidi, dan layanan publik. 

Baca Lainnya :  Kpk Endus Ada Oknum Kemenag Terima 113 Juta Per Kuota Haji dari Agen Travel

Pajak tetap menjadi andalan utama negara di tengah fluktuasi harga komoditas dan ketidakpastian global, di mana kontribusi dari sumber lain seperti bea cukai hanya mencapai 10-15 persen.

Amnesty pajak muncul karena negara membutuhkan dana besar untuk membiayai pembangunan infrastruktur, layanan kesehatan, dan pendidikan yang merata, tetapi banyak warga menyimpan aset di luar sistem pajak—entah di rekening offshore atau investasi tersembunyi. 

Tanpa tax amnesty, penerimaan pajak nasional mandek, sementara kebutuhan anggaran terus membengkak akibat inflasi dan krisis global.

Dampaknya terlihat nyata. Pajak yang terkumpul membiayai jalan raya yang mulus, rumah sakit yang siap tangani pandemi, atau beasiswa bagi anak muda di daerah terpencil. 

Jika semua wajib pajak ikut serta, Indonesia bisa capai pertumbuhan 6 persen per tahun, melindungi jutaan pekerja dari PHK saat resesi, dan mengurangi ketimpangan yang kini mencapai Gini rasio 0,38.

Pemerintah sudah menghitung bahwa tanpa perluasan basis pajak seperti ini, defisit anggaran bisa menembus 3 persen PDB, memaksa pemotongan subsidi BBM atau pupuk yang berdampak langsung pada petani dan nelayan.

Realitas Sosial: Ketidakpuasan Masyarakat terhadap Sistem Perpajakan

Di tengah diskusi ini, realitas di masyarakat menunjukkan ketidakpuasan mendalam terhadap kebijakan perpajakan, terutama bagi kelas menengah dan kecil yang merasa terjepit oleh kenaikan tarif dan biaya hidup.

Indeks keyakinan konsumen turun ke 110 dari 123 di akhir 2024, didorong oleh penurunan daya beli 2,5 persen dan kekhawatiran APBD daerah mengecil akibat kenaikan tarif lokal di bawah UU 1/2022.

Banyak warga mengeluhkan bahwa sistem pajak menargetkan rakyat biasa melalui audit ketat tanpa ampunan, sementara oligarki dan korporasi besar lolos kemplangan pajak ribuan triliun, memperburuk ketimpangan sosial di mana Gini rasio tetap tinggi meski ekonomi tumbuh.

Sejarah Pelaksanaan Tax Amnesty di Indonesia

Sejauh ini, Indonesia telah melaksanakan tax amnesty enam kali sepanjang sejarahnya.

Tax amnesty tahun berapa yang pertama? Tax amnesty pertama dimulai pada 1964, di era Presiden Soekarno, sebagai upaya reset sistem perpajakan pasca-kemerdekaan untuk menarik aset perang ke ekonomi nasional. Selanjutnya, pada 1984 di bawah Orde Baru, program serupa difokuskan pada pengampunan utang pajak korporasi.

Era reformasi membawa Tax Amnesty Jilid 1 pada 2016, yang berlangsung dari 28 Juni 2016 hingga 31 Maret 2017, dengan 972 ribu peserta mendeklarasikan aset Rp 4.800 triliun dan membayar tebusan Rp 114 triliun—rekor global saat itu.

Baca Lainnya :  Pemerintah Hemat Rp 3,6 Triliun Usia Pangkas Uang Perjalanan Dinas

Kemudian, Tax Amnesty Jilid 2 melalui Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada 1 Januari hingga 30 Juni 2022, yang lebih ringkas dan digital, mengumpulkan Rp 1.200 triliun aset dari 887 ribu pendaftar, dengan tebusan Rp 29 triliun. 

Data resmi DJP mencatat bahwa kedua program ini memperkaya database perpajakan, meskipun repatriasi aset dari luar negeri hanya mencapai 1-2 persen dari target, akibat regulasi ketat Bank Indonesia soal transfer modal.

Di balik angka-angka ini, banyak perusahaan kaya dan individu berpengaruh yang memanfaatkan program tersebut:

Pada 2016, konglomerat seperti Sofyan Wanandi, James Riady dari Lippo Group, Thohir bersaudara, Tommy Soeharto, AM Hendropriyono, dan Chandra Lie dari Kadin mendeklarasikan aset miliaran dolar, dengan total deklarasi luar negeri Rp 6,51 triliun.

Pada 2022, perusahaan multinasional dan korporasi domestik besar seperti PT Astra International dan Grup Salim ikut serta, mendeklarasikan aset domestik Rp 70,59 triliun, yang menunjukkan bagaimana program ini lebih banyak menguntungkan pemilik modal besar daripada memperluas basis pajak secara merata.

Konsekuensi Negatif Jika Tax Amnesty Dilanjutkan

Jika tax amnesty tetap dijalankan seperti sebelumnya, konsekuensi negatifnya akan semakin dalam dan mencekam: Pengemplangan pajak massal akan merajalela, karena oligarki dan korporasi kaya menerima sinyal bahwa pelanggaran bisa diampuni berulang. 

Rakyat jelata menanggung beban defisit anggaran melalui pemotongan subsidi esensial seperti BBM dan pupuk, yang sudah membuat jutaan petani dan nelayan kesulitan bertahan di tengah inflasi 3 persen. 

Erosi kepercayaan publik terhadap pemerintah akan memburuk, dengan rasio pajak stagnan di 10,5 persen PDB—jauh di bawah negara tetangga—memicu krisis fiskal yang memaksa pinjaman luar negeri bertambah hingga Rp 8.000 triliun, sementara ketimpangan Gini rasio naik ke 0,40, memperburuk kemiskinan urban dan rural di mana keluarga miskin semakin terpinggirkan tanpa akses pendidikan atau kesehatan dasar.

Perbedaan Pendekatan Era Sri Mulyani dan Purbaya

Perbedaan mencolok terlihat antara pendekatan tax amnesty di era Sri Mulyani dengan sikap Purbaya.

Di bawah Sri Mulyani (Menkeu waktu itu), yang menjabat sejak 2016, tax amnesty digulirkan untuk mengatasi tantangan fiskal. Tax Amnesty 2016 menutup defisit anggaran akibat penurunan harga komoditas global, mengumpulkan Rp 114 triliun dari 972 ribu peserta, berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pajak. 

Program Pengungkapan Sukarela (PPS) 2022 menargetkan pemulihan likuiditas pasca-lockdown pandemi COVID-19, menghasilkan Rp 29 triliun dari 887 ribu pendaftar, sesuai data resmi Kemenkeu.

Baca Lainnya :  Tanggapan Titiek Soeharto Soal Pengibaran Bendera One Piece

Pendekatan Sri Mulyani (Menkeu waktu itu) menekankan repatriasi aset untuk memperkuat cadangan devisa, dengan slogan “keadilan pajak melalui pengakuan sukarela.”

Sikap Purbaya terhadap Tax Amnesty 2025 berpijak pada prinsip pencegahan moral hazard: Purbaya menilai, pengampunan berulang mendorong wajib pajak sengaja menunda pembayaran, mengetahui pemerintah akan lunak nanti. 

Di tengah ekonomi Indonesia yang kini bergulat dengan pertumbuhan 5 persen, inflasi 3 persen, dan target rasio pajak 12 persen pada 2029, Purbaya alokasikan Rp 200 triliun stimulus langsung ke UMKM melalui pinjaman lunak, tanpa bergantung pada pengampunan masa lalu.

Kritik Ekonom dan Solusi Alternatif

Kritik dari kalangan ekonom terhadap pelaksanaan tax amnesty di era Sri Mulyani tak terelakkan. Meski dipuji sebagai terobosan yang mencatat penerimaan tertinggi dunia pada 2017, program itu dituding menciptakan efek samping negatif: Moral hazard yang membuat wajib pajak ragu patuh tepat waktu, karena “kenapa bayar sekarang jika nanti diampuni?”

Nidya Barnadhya Lusida dari Universitas Indonesia menyoroti kegagalan repatriasi—hanya Rp 18 triliun aset pulang negeri dari Rp 1.000 triliun yang dijanjikan. Indef Institute menambahkan bahwa pengampunan berulang justru menekan rasio pajak jangka panjang, tetap stagnan di 10,5 persen PDB dibandingkan 15 persen di Malaysia. Dalam konteks fiskal rapuh pasca-pandemi, dengan utang luar negeri Rp 8.000 triliun, para kritikus khawatir program ini malah menggerus kredibilitas internasional, seperti terlihat dari penurunan peringkat Moody’s pada 2023.

Usulan lain, menekankan transformasi mendasar: Ganti paradigma pengampunan dengan penegakan cerdas berbasis teknologi dengan mengintegrasikan audit pajak berbasis kecerdasan buatan untuk deteksi penggelapan real-time, sederhanakan pengisian SPT menjadi proses lima menit dengan aplikasi mobile—mirip model Singapura yang mencapai kepatuhan 95 persen. 

Dengan memberikan insentif positif seperti potongan 1 persen untuk wajib pajak patuh berturut-turut, bukan dengan cara memberikan diskon untuk pelanggar masa lalu.

Menkeu Purbaya memastikan tidak ada kenaikan dan pemungutan pajak baru pada tahun 2026.

Menkeu Purbaya melanjutkan digitalisasi 85 persen layanan Direktorat Jenderal Pajak yang telah dimulai sejak awal 2025, dengan sistem Coretax yang diluncurkan pada 1 Januari 2025, menurut laporan Kementerian Keuangan. Sistem ini berpotensi meningkatkan kepatuhan pajak hingga 20 persen dalam tiga tahun tanpa mengorbankan prinsip keadilan. 

Dengan demikian, wacana Tax Amnesty 2025 menjadi kurang relevan jika sistem perpajakan beralih ke era transparansi penuh, di mana kepatuhan menjadi standar utama demi memperkuat fondasi ekonomi nasional. dilansir dari situs resmi indoraya co.id

Leave a Comment

javanica post

Javanica Post adalah portal berita online yang dikelola oleh PT. Javanica Media Digital, salah satu anak perusahaan dari Javanica Group.

Edtior's Picks

Latest Articles

©2024 javanica post. All Right Reserved. Designed and Developed by PEH Digital Agency